Rabu, 19 November 2025


MURIANEWS, Jakarta – Pemimpin Redaksi Cyberthreat.id Nurlis Effendy menyebut aturan keamanan siber bagi media mendesak dibuat. Sebab, UU Pers sebagai induk hukum jurnalis belum mengatur itu.

Itu dikatakannya, dalam Kegiatan Edukasi dan Literasi Keamanan Informasi Sektor Media yang disiarkan secara daring, Selasa (14/12/2021).

“Di UU Pers, belum ada pengaturan tentng kewajiban digital, bahwa teknologi yang dilakukan harus amdal. (Aturan) yang mewajibkan media online, untuk memiliki keamdalan tekonologi sibernya (belum ada). Sementara itu, ada di UU ITE dan turunan, segala platform diwajibkan menjaga keamanan siber. hukuman untuk itu tidak ada,” katanya dikutip MURIANEWS dari YouTube BSSN.

Baca juga: Ini Waktu Rentan Serangan Siber

Di kesempatan yang sama, ia memaparkan pentingnya merancang budaya keamanan siber di Indonesia. Budaya itu berada ditingkat Ketika orang merasa perlunya keamanan siber di bawah alam sadar. Jadi, bukan lagi berada dipikiran tapi secara reflek.

“Di Indonesia, mungkin di dunia, budaya keamanan siber belum kuat. Di Indonesia perlu peningkatan lagi,’ ujarnya.

Dari perspektif media, ia menyebut ada tiga persoalan di ruang siber. Tiga persoalan itu di mulai dari kolaborasi pemanfaatan, kompetisi, dan konflik.

“Kolaborasi ketika awal-awal, semakin banyak, artinya banyak komponen di ruang siber dan menjadi kompetisi. Ketika makin mendesak menjadi konfilk, kompetisi bukan antar bisnis dan serangan siber,” jelas Nurlis.

Menurutnya serangan siber ke media sudah ada sejak lama. Bahkan, Nurlis mengaku pernah mengalami serangan siber Difacemen. Di mana, media bikinannya diubah tampilannya menjadi situs pornografi.

“Misalkan, saya punya media kemudian dihack, ada itu Tempo, dan terakhir Tirto.id. (Itu) masih lumayan, ganti konten yang sederhana. Tapi kalau diganti konten yang adu domba itu bagaimana? Iyakan?” ujarnya.
“Misalkan, saya punya media kemudian dihack, ada itu Tempo, dan terakhir Tirto.id. (Itu) masih lumayan, ganti konten yang sederhana. Tapi kalau diganti konten yang adu domba itu bagaimana? Iyakan?” ujarnya.“Itu bisa dilakukan. Tanpa sadar oleh media, sadarnya pasti belakangan. Dan terjadi konflik, siapa yang bertanggungjawab. mediakah? karena penjahatnya pasti harus bertanggungjawab. media bertanggungjawab nggak?” lanjutnya.Seharusnya, lanjutnya, media harus bertanggungjawab. Karena, kurang peka terhadap keamanan sibernya.“Nah ini, yang harus diformulasikan. Umpamanya saya menyediakan media kemudian dihack karena kelemahan keamanan sibernya kemudian terjadi konflik yang meluas. bahwa ada penjahat yang menerobos, iya, tapi sebagai media harus bertanggungjawab moral juga dong,” ujarnya.Ia pun mendesak pihak terkait agar aturan mengenai keamanan siber bagi media segera dibentuk. Standar keamanan siber bagi media perlu dirancang ke depan.“Apakah dewan pers, berkolaborasi dengan BSSN menetapkan keamanan siber apa yang dibutuhkan media,” katanya.Nulis kemudian khawatir muncul serangan siber yang mengubah konten isi berita menjadi alat adu domba dan konten-kenten yang merugikan masyarakat. Ia juga meminta serangan siber yang mengubah konten media menjadi web pornografi juga harus tangani.“Ada persoalan yang menarik juga, bagaimanan serangan siber dialami pemerintah, bukan hanya di media. Bahkan di kepolisian juga,” jelasnya. Penulis: Zulkifli FahmiEditor: Zulkifli Fahmi

Baca Juga

Komentar

Terpopuler