) menemukan dua perusahaan besar yang memiliki izin impor minyak goreng, padahal dua perusahaan itu tidak memenuhi persyaratan.
Kedua perusahaan tersebut adalah PT OI dan PT IS. Keduanya telah mendapatkan
dari Kementerian perdagangan.
"Dikeluarkannya persetujuan ekspor (PE) kepada eksportir yang seharusnya ditolak izinnya, karena tidak memenuhi syarat DMO (
)," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, Rabu (6/4/2022).
Ketut menambahkan, temuan tersebut setelah beberapa timnya melakukan penyelidikan terhadap kelangkaan minyak goreng yang beberapa pekan lalu menjadi momok bagi masyarakat. Kemudian pihaknya juga melakukan penyelidikan terkait Pemberian Fasilitas Ekspor
Tahun 2021-2022.
Dia menjelaskan, kedua perusahaan itu tidak mengikuti pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO) dan harga penjualan di dalam negeri (DPO).
“Dua perusahaan itu juga melanggar batas harga yang ditetapkan pemerintah dengan menjual minyak goreng di atas DPO yang seharusnya Rp 10.300,” terangnya.
Ketut juga menyampaikan, akibat diterbitkannya persetujuan ekspor yang bertentangan dengan hukum menyebabkan kemahalan serta kelangkaan minyak goreng. Imbas lebih jauh adalah terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng dalam kurun waktu 1 Februari sampai 20 Maret 2022.Selain itu, diduga ada gratifikasi dalam pemberian izin ekspor
."Disinyalir adanya gratifikasi dalam pemberian izin penerbitan persetujuan ekspor (PE)," tegasnya. Penulis: Cholis AnwarEditor: Cholis AnwarSumber:
[caption id="attachment_273255" align="alignleft" width="880"]

Ilustrasi minyak goreng (freepik.com)[/caption]
MURIANEWS, Jakarta- Kejaksaan Agung (
Kejagung) menemukan dua perusahaan besar yang memiliki izin impor minyak goreng, padahal dua perusahaan itu tidak memenuhi persyaratan.
Kedua perusahaan tersebut adalah PT OI dan PT IS. Keduanya telah mendapatkan
persetujuan ekspor dari Kementerian perdagangan.
"Dikeluarkannya persetujuan ekspor (PE) kepada eksportir yang seharusnya ditolak izinnya, karena tidak memenuhi syarat DMO (
Domestic Market Obligation)-DPO (
Domestic Price Obligation)," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, Rabu (6/4/2022).
Baca: Jateng Tunggu Petunjuk Resmi soal BLT Minyak Goreng
Ketut menambahkan, temuan tersebut setelah beberapa timnya melakukan penyelidikan terhadap kelangkaan minyak goreng yang beberapa pekan lalu menjadi momok bagi masyarakat. Kemudian pihaknya juga melakukan penyelidikan terkait Pemberian Fasilitas Ekspor
Minyak Goreng Tahun 2021-2022.
Dia menjelaskan, kedua perusahaan itu tidak mengikuti pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO) dan harga penjualan di dalam negeri (DPO).
“Dua perusahaan itu juga melanggar batas harga yang ditetapkan pemerintah dengan menjual minyak goreng di atas DPO yang seharusnya Rp 10.300,” terangnya.
Baca: Endus Minyak Goreng Curah Disulap Jadi Kemasan, Kapolri Bakal Tindak Tegas
Ketut juga menyampaikan, akibat diterbitkannya persetujuan ekspor yang bertentangan dengan hukum menyebabkan kemahalan serta kelangkaan minyak goreng. Imbas lebih jauh adalah terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng dalam kurun waktu 1 Februari sampai 20 Maret 2022.
Selain itu, diduga ada gratifikasi dalam pemberian izin ekspor
minyak goreng.
"Disinyalir adanya gratifikasi dalam pemberian izin penerbitan persetujuan ekspor (PE)," tegasnya.
Penulis: Cholis Anwar
Editor: Cholis Anwar
Sumber:
Kompas.com