Diduga Ada TPPU Sebesar Rp 189 T, Ditjen Bea Cukai Buka Suara
Cholis Anwar
Sabtu, 1 April 2023 13:32:21
Transaksi mencurigakan itu diduga dilakukan dalam bentuk impor emas batangan dengan nilai yang fantastis dan melibatkan beberapa pejabat penting dalam negeri.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani mengatakan, pada 2016 lalu petugas Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai di Soekarno Hatta melakukan penindakan terhadap 1 perusahaan yang melakukan eksportasi emas.
Kala itu, pihaknya menemukan 218 kg emas senilai US$6,8 juta yang diduga eksportasinya pelanggaran kepabeanan. Bentuk pelanggaran; emas tersebut disebut perhiasan, tapi ternyata berupa emas batangan (ingot).
Baca: DPR Panggil Mahfud Md Hingga Sri Mulyani Soal Transaksi Mencurigakan Rp 300 TPihaknya kemudian menyelidiki kasus itu. Setelah berkas perkara lengkap (P21), satu tersangka perorangan kemudian dibawa ke pengadilan.
Namun, pada 2017, Bea Cukai kalah dalam sidang usai pengadilan menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana.
”Di pengadilan, pada 2017 adalah tidak terbukti melakukan tindak pidana, sehingga dinilai bukan tindak pidana,” ujar Askolani mengutip
CNNIndonesia.com, Sabtu (1/4/2023).Selang beberapa bulan, pihaknya kembali melakukan kasasi. Kali ini, pihaknya menang dan tersangka mendapatkan sanksi pidana 6 bulan serta denda Rp2,3 miliar, perusahaan terlibat juga dikenakan denda Rp500 juta.Namun, tersangka melakukan peninjauan kembali (PK) pada 2019. Hasilnya, Bea Cukai kembali kalah sehingga terlapor dinyatakan tidak melakukan tindak pidana.
Baca: Mahfud Md Beberkan Asal-usul Transaksi Mencurigakan Rp 349 T di KemenkeuKemudian pada tahun 2020, pihaknya kembali melakukan asesmen terhadap 9 entitas wajib pajak badan yang melakukan eksportasi emas senilai total Rp189 triliun. Belajar dari hasil PK kasus 2016, hasil asesmen tersebut akhirnya diputuskan tidak ada pelanggaran kepabeanan.”Dari review bersama, belajar dari keputusan bersama PK 2017, kita dengan PPATK menyatakan bahwa ini tidak ada tindak pidana kepabeanan,” terangnya.
Murianews, Jakarta – Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (menko Polhukam) Mahfud Md menduga adanya tindak pidana pencucian (TPPU) sebesar Rp 189 triliun yang terindikasi dilakukan di Direktorat Jenderal (Ditjen) bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Transaksi mencurigakan itu diduga dilakukan dalam bentuk impor emas batangan dengan nilai yang fantastis dan melibatkan beberapa pejabat penting dalam negeri.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani mengatakan, pada 2016 lalu petugas Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai di Soekarno Hatta melakukan penindakan terhadap 1 perusahaan yang melakukan eksportasi emas.
Kala itu, pihaknya menemukan 218 kg emas senilai US$6,8 juta yang diduga eksportasinya pelanggaran kepabeanan. Bentuk pelanggaran; emas tersebut disebut perhiasan, tapi ternyata berupa emas batangan (ingot).
Baca: DPR Panggil Mahfud Md Hingga Sri Mulyani Soal Transaksi Mencurigakan Rp 300 T
Pihaknya kemudian menyelidiki kasus itu. Setelah berkas perkara lengkap (P21), satu tersangka perorangan kemudian dibawa ke pengadilan.
Namun, pada 2017, Bea Cukai kalah dalam sidang usai pengadilan menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana.
”Di pengadilan, pada 2017 adalah tidak terbukti melakukan tindak pidana, sehingga dinilai bukan tindak pidana,” ujar Askolani mengutip
CNNIndonesia.com, Sabtu (1/4/2023).
Selang beberapa bulan, pihaknya kembali melakukan kasasi. Kali ini, pihaknya menang dan tersangka mendapatkan sanksi pidana 6 bulan serta denda Rp2,3 miliar, perusahaan terlibat juga dikenakan denda Rp500 juta.
Namun, tersangka melakukan peninjauan kembali (PK) pada 2019. Hasilnya, Bea Cukai kembali kalah sehingga terlapor dinyatakan tidak melakukan tindak pidana.
Baca: Mahfud Md Beberkan Asal-usul Transaksi Mencurigakan Rp 349 T di Kemenkeu
Kemudian pada tahun 2020, pihaknya kembali melakukan asesmen terhadap 9 entitas wajib pajak badan yang melakukan eksportasi emas senilai total Rp189 triliun. Belajar dari hasil PK kasus 2016, hasil asesmen tersebut akhirnya diputuskan tidak ada pelanggaran kepabeanan.
”Dari review bersama, belajar dari keputusan bersama PK 2017, kita dengan PPATK menyatakan bahwa ini tidak ada tindak pidana kepabeanan,” terangnya.